KOMISI YUDISIAL
Disusun
Untuk Tugas Kelompok Kewarganegaraan

Disusun Oleh:
Windra Bangun s
A01001394
PRODI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial. Komisi Yudisial adalah
lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh
badan peradilan dan hakim
Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru,
perlu dan untuk tujuan memberi informasi kepada masyarakat kiranya dalam
tulisan ini dikemukakan juga secara singkat mengenai kedudukan, wewenang dan
tugas Komisi Yudisial.
B. Rumusan Masalah
·
Bagaimana
latar belakang terbentuknya komisi yudisial ?
·
Apa
yang dimaksud komisi yudisial ?
·
Apa
wewenang komisi yudisial ?
·
Apa
peran lembaga ini terhadap hakim ?
C.
Tujuan
Mengetahui latar belakang
terbentuknya komisi yudisial, tujuan wewenang dan tugas lembaga ini
D. Sistematika
Penulisan
Makalah ini tersusun atas BAB
I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, Tujuan,
Sistematika Penulisan. BAB II Pembahasan yang terdiri dari Sejarah terbentuknya
komisi yudisial,dasar hokum komisi yudisial, kedudukan wewenang dan tugas.BAB
III Penutup Terdiri atas Kesimpulan dan Penutup
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Terbentuknya Komisi Yudisial
Berawal
pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan
akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan
para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian tahun
1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak
adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan
eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan
yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi
peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa
perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman,
termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah
dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.Setelah melalui seleksi yang
ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial
periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan
selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial
mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
B.
Dasar Hukum Komisi Yudisial
Komisi
Yudisial negara kita secara jelas disebut di tiga peraturan perundang-undangan
yaitu:
·
UUD 1945,
·
UU No 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
·
UU No 22 tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial
a) UUD 1945
Ø Pasal 23 a ayat (3) UUD 1945
Berbunyi
“ Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden
Ø Pasal 24 b UUD 1945
1.
Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
2.
Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.
3.
Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan
rakyat.
4.
Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
b) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Ø Pasal 34 ayat 1
“Ketentuan mengenai
syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diatur dengan Undang-Undang”
Ø Pasal 34 ayat 3
“Dalam rangka
menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim,
pengawasan dilakukan oleh komisi yudisial yang diatur dalam Undang-Undang.
C.
Kedudukan, Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial Republik
Indonesia
Dalam posisinya sebagai lembaga negara
yang baru, perlu dan untuk tujuan memberi informasi kepada masyarakat kiranya
dalam tulisan ini dikemukakan juga secara singkat mengenai kedudukan, wewenang
dan tugas Komisi Yudisial.
Mengenai kedudukan dari Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan
Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi
Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat
konstitusional.
Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah
lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas
dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain”. Kemandirian Komisi Yudisial
itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari
Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A
Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun
2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:
·
Mengusulkan
pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
·
Mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka
jelaslah mengenai kedudukan, wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik
Indonesia sebagai lembaga negara yang mandiri yang salah satu kewenangannya
adalah melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan
hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
D.
Peran Lembaga
Pengawas Eksternal terhadap Hakim.
Bahwa praktek penyalahgunaan wewenang di badan
peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan
menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan
dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat
dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang
berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh
dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan
diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan
perundang-undangan.
Disadari bahwa terjadinya praktek
penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas,
disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya
pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak
terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut.
lemahnya pengawasan internal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
·
kualitas dan integritas pengawas yang tidak
memadai,
·
proses
pemeriksaan disiplin yang tidak transparan,
·
belum
adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan,
memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses),
·
semangat
membela sesama korps (esprit de corps)
yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap
upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi
dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu,
·
tidak
terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan
Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan
bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit
de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan
badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim,
sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum
dan kode etik untuk mendapat “pengampunan” dari pimpinan badan peradilan yang
bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh
karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan
eksternal terhadap hakim.
Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial.
Sebagai lembaga negara yang lahir dari tuntutan reformasi (reformasi hukum) dan berwenang untuk melakukan reformasi
peradilan, terutama dalam posisinya sebagai lembaga pengawas eksternal,
tidak mungkin Lembaga Negara ini membiarkan terus terjadinya praktek
penyalahgunaan wewenang di badan peradilan. Jadi, apabila dipahami spirit dan
orientasinya tidak berlebihan bahkan sejalan dengan tuntutan konstitusi dan
semangat reformasi peradilan apabila Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah
dan strategi yang progresif dan proaktif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim seperti menyusun dan mengusulkan draft
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) tentang Perubahan Atas
Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kepada Presiden melalui
Menteri Hukum dan HAM. Draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
tersebut semata-mata bertujuan untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan wewenang
badan peradilan, memulihkan kewibawaan badan peradilan, serta memulihkan
kepercayaan masyaratakat dan pencari keadilan terhadap hakim sebagai
penyelenggara utama fungsi pengadilan.
Semua pihak, terutama para pihak yang terlibat
dalam upaya penegakan hukum dan pengawal reformasi hukum (reformasi peradilan)
harus memahami dengan benar, bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang
secara hukum dan konstitusional diberikan amanat dan mempunyai tanggungjawab
untuk memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan
dan hakim melalui fungsi pengawasan (pengawas eksternal) yang dimilikinya.
Dalam kerangka itu, sepatutnya semua pihak yang mempunyai niat yang tulus dalam
upaya penegakan hukum dan keadilan, terutama dalam rangka reformasi peradilan
mendukung setiap upaya Komisi Yudisial, agar dalam pelaksanaan wewenangnya
dapat efektif.
Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka,
netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa
hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio
sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan
hukum. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat
menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan.
Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi
dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala
kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui
putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan
seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan
sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan
memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu,
wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu
dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang
hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality
before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut
tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan
irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti
bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara
vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara
efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari
keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan
perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan
tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian
bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta
menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya,
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana
utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komiten, tekad, dan semangat
dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang
dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan
kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot
masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang
bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam
kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahwa fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah
Konstitusi meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan
yang bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24B ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diimplementasikan dalam Pasal 13 Huruf b, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23 Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Mengenai fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, diperkuat juga
oleh ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 34 Ayat (3) menentukan bahwa: ”Dalam
rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam
undang-undang”. Hal ini sekaligus mempertegas eksistensi dan fungsi Komisi
Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim
agung dan hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya.
Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi
Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim
dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa
keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila
hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, maka bukan hanya
kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi juga kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim pun terpelihara.
Oleh karena itu, sifat hakim yang dilambangkan
dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta
merupakan sifat-sifat yang harus ditumbuhkembangkan dan diwujudkan secara nyata
dalam tindakan dan perilaku hakim agar senantiasa berlandaskan pada prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, serta
menjunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah
landasan dari semua prinsip-prinsip dalam pedoman perilaku hakim. Ketaqwaan
berarti percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
percayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini mampu mendorong hakim untuk
berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
Disadari bahwa hakim dalam melaksanakan wewenang
dan tugas tidak terlepas dari berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Keadaan
yang demikian itu, tentu rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest
bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim
yang demikian itu dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak
kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yudisialnya.
Dalam menghadapi keadaan yang demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional
dalam menjalankan wewenang dan tugasnya.
Oleh karena itu, keberadaan Komisi Yudisial
sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam
struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangatlah
penting. Hal ini maksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
martabatnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent
and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus
diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum
maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang
independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung.
Melalui lembaga pengawas eksternal tersebut aspirasi masyarakat di luar
struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung
serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan
kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap
etika.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan
hakim, Komisi Yudisial akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai
dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan
dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus
mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan
memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim
tetap dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga
dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.
Sejalan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi
Yudisial itu, hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah kemulian atau nama baik
yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para
Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama
terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau
keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan
perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat.
Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat
kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki,
tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau
perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku
yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat
dijaga dan ditegakkan.
Sedangkan keluhuran menunjukkan bahwa profesi
hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium
nobile. Bila suatu profesi terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi
yang solid, (2) standar profesi, (3) etika profesi, (4) pengakuan masyarakat,
dan (5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi officium nobile
terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat. Sedangkan
martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri.
Beranjak dari apa yang diuraikan, jelaslah bahwa
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim mempunyai
peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya mendorong dan menciptakan
hakim untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, keadilan, dan kode etik
dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya. Untuk itu tentu saja para hakim harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan
profesional, sehingga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
terjaga dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan pencari keadilan.
E.
Ringkasan Tugas, Tujuan dan Wewenang
Komisi Yudisial
1)
Tujuan Komisi Yudisial
·
Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
·
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang
menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
·
Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.
·
Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman
untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakim
2)
Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
3)
Tugas Komisi
Yudisial
Mengusulkan Pengangkatan Hakim
Agung, dengan tugas utama:
·
Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
·
Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
·
Menetapkan calon Hakim Agung; dan
·
Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Menjaga dan Menegakkan
Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim, dengan tugas utama:
·
Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
·
Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
·
Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR
4)
Pertanggungjawaban dan Laporan
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada
publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan
dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang
mandiri berwenang mengawasi (lembaga pengawas eksternal) terhadap hakim yaitu
hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik, yang bersifat preventif
sampai dengan yang bersifat represif bertujuan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kehadiran Komisi Yudisial
antara lain disebabkan tidak efektifnya pengawasan internal yang ada di badan
peradilan dan tidak adanya kehendak yang kuat dari pimpinan badan peradilan
untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal.
Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal sangat penting dan menuntut hakim untuk selalu menjunjung tinggi
hukum, kebenaran, integritas, kode etik, dan keadilan dalam menjalankan
wewenang dan tugasnya sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,
demi terpeliharanya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
B . Daftar Pustaka
id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Yudisial –
Dasar Hukum komisi Yudisial oleh.annida.harid.web.id/?p=466
Peran lembaga
eksternal terhadap hakim oleh : Hermansyah, SH, M.Hum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar